Bersama tokoh Muslim Kamboja, 2009. (Photo: Dok. SK) |
Bersama Komunitas Muslim Kamboja (4/habis):
Menjadi Minoritas Inklusif
Oleh DR. H. Shofwan Karim Elha, MA
(Rektor UMSB 2005-2013; Lektor Kepala FU IAIN IB Padang 1985-2018; Lektor Kepala PPs UMSB)
Di tengah mayoritas penganut agama Budha Theravada maka kaum muslimin Kamboja menjadi minoritas bebas tetapi toleran dalam kehidupan social dan rukun dengan kaum mayoritas tadi dan kelompok lainnya. Tidak pernah ada pertikaian, konflik apa lagi pergesekan fisik dengan pemeluk agama lain. Kecuali dengan kaum komunis, lebih-lebih rezim Pol Pot seperti yang telah disinggung terdahulu maka kaum muslimin Kamboja merasa negeri ini sepenuhnya milik mereka. Mereka merasa bahagia dan tenteram sekarang ini.
Lebih dari itu, seperti disinggung beberapa sumber termasuk Zakaryya Adam, bila kaum muslimin merasa tidak nyaman dengan pihak lain maka mereka tidak mengganggu dan mereka lebih suka sibuk dengan program dan tradisi meraka sendiri. Begitu pula internal ummat Islam. Seperti apa yang ditulis beberapa sumber, umat Islam di Kamboja secara total adalah kaum sunni atau ahlus sunnah wal jamah. Di dalam kemurnian akidah, ketaatan beribadah, pelaksanaan syariat dan pengamalan Islam, kaum muslimin di sini berada pada dua kategori. Pertama, mereka yang ber-Islam dengan langsung mempraktikan akidah murni ibadah, syariat yang sesuai amalan Nabi Muhammad Rasulullawh saw seperti amalan salafus shalih yang merujuk langsung kepada al-Quran serta sunnah n autentik dari Nabi . Merekalah yang secara relatif berkomitmen dengan rukun Iman dan mempraktikan rukun Islam secara konkret .
Bersama kaum Muslimin Kamboja, 2009 . (Foto: Dok/SK) |
Kedua, mereka yang di Indonesia disebut “abangan” merujuk teori Clifford Geertz yang sudah dibantah Harsya W Bachtiar dan lainnya. Kaum yang jenis kedua ini sebenarnya muslim dalam artian label, tetapi masih penuh dengan singkretisme dan kepercayaan leluhur, tadisi local dan kepercayaan nenek moyang yang secara baku banyak yang tidak sesuai dengan ajaran “salafus shalih”. Mereka tetap shalat tetapi tidak teratur dan umumnya sekali seminggu saja, ketika shalat Jum’at.
Antara kelompok kategori pertama dan kedua tadi, meskipun dari luar kelihatannya tidak cocok, dan pada beberapa hal amat bertentangan, namun di dalam internal umat Islam ini mereka tidak pernah melahirkan aksi yang bermuara kepada ketegangan. Paling-paling menurut Zakariyya Adam, mereka membangun masjid dan mushalla sendiri-sendiri sesuai dengan paham keagamaan yang mereka anut. Sebagaimana kebanyakan mereka mengikuti mazhab Syafii, maka setiap kampung memiliki mushalla. Dan bila lebih dari 40 orang penduduk, mereka dapat mendirikan upacara shalat Jum’at. Dengan begitu pada suatu waktu mushalla tadi promosi menjadi masjid.
Kerajaan atau negara dan pemerintahan tidak secara ekslusif membantu secara formal, kecuali untuk hal-hal tertentu. Walaupun demikian, Pemerintahan PM Hun Sen, secara berangsur membuka keran bantuan seperti pembangunan masjid dan seterusnya. Di balik itu pemerintahan sekarang tidak pernah melarang setiap aktifitas dan konsepsi social, perkawinan, pendidikan, hukum, politik, ekonomi dan budaya kaum muslimin di sini. Ambil contoh soal undang-undang dan peraturan tentang perkawinan. Mereka mengatur sendiri secara otonom untuk urusan lembaga sacral yang disebut pernikahan atau perkawinan sekalian derivasinya seperti waris mewarisi, harta dan kekayaan bagi yang pasangan cerai hidup atau mati. Bagi mereka yang suka dengan hukum syarak, maka itulah yang mereka lakukan. Fatwa dan bimbingan dari hakim dan imam sudah cukup bagi kaum muslimin di sini untuk setiap pemahaman, amal, praktik dan dinamika umat islam di negeri ini. Negara dan pemerintah tidak ikut campur.
Di Kamboja, 2009. (Foto: Dok. SK) |
Yang penting bagi sebuah pernikahan dan perkawinan misalnya, sudah syah secara syarak menurut legitimasi para hakim dan imam atau ulama. Bila sudah syah secara syarak tadi, maka hal itu tidak perlu dibawa ke administrasi sipil dan pemerintahan. Dengan begitu, maka secara teoretis, mereka otonom dan mengurus diri sendiri. Dan secara komunal dalam status atau kedudukan mereka sebagai warga negara kerajaan, mereka mematuhi semua aturan yang ada di luar hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban keagamaan tadi. Artinya inklusifitas itu bermakna bahwa tidak ada segregasi dan diskriminasi dalam tatanan kehidupan sehari-hari mereka dalam konteks social kemasyarakatan.
Sama seperti beberapa komunitas multi agama di beberapa negara di Asia Tenggara seperti juga di Maluku dan Poso sebelum peristiwa huru hara lalu, muslim dan non-muslim di Kamboja saling mengunjungi dan saling membantu dalam setiap kegiatan. Bila ada yang melaksanakan kenduri perkawinan, non-muslim datang berbagi rasa bahagia atau sebaliknya kalau ada kemalangan mereka saling mengunjungi sebagai pengejawantahan kedukaan. Dalam makna yang bersifat social ini, mereka dapat disebut menganut prinsip inklusifitas aktif. Sebaliknya dalam hal praktik keagamaan, baik yang mengandung nuansa teologis maupun ritualistic dan pelaksanaan hukum syarak, mereka teguh menerapkan prinsip ekslusifitas-pasif. Dalam kata lain, dalam hal duniawi, social, politik, ekonomi dan budaya, mereka toleran terhadap kaum yang lain. Sebaliknya dalam hal akidah dan agama, mereka teguh dengan pendirian dan pengamalan tanpa memaksakan ke golongan lain dan mereka juga tidak mau dipaksa golongan lain itu. (Habis)