BASRIL DJABAR: TERBEBAS DARI RAYUAN POLITIK UNTUK KEKUASAAN
H. BASRIL DJABAR: TERBEBAS DARI RAYUAN POLITIK UNTUK KEKUASAAN
Pada 21 April 2009, peluncuran Otobiogafi H Basril Djabar oleh Mendagri (2009-2014); Gubernur Sumbar (2005-2009) Dr. H. Gamawan Fauzi, S.H., M.M |
BASRIL DJABAR: TERBEBAS DARI RAYUAN POLITIK UNTUK KEKUASAAN
Oleh Shofwan Karim
Menulis tentang seorang tokoh “beken” tentu banyak dimensi yang saling berhimpitan . Didalam khazanah intelektual dan hati nurani, dimensi ketokohan seseorang itu sulit dijelaskan dengan kata dan kalimat atau diksi tulisan.
Akan tetapi kata dan kalimat adalah sarana yang tak bisa dikesampingkan ketika seorang tokoh mau dibicarakan. Seorang tokoh bukan karena ditokohkan, apalagi melalui proses formalitas dan pabrikasi birokrasi, produk publikasi media dan wacana politik.
Di dalam sejarah Minangkabau klasik dan modern, hampir tidak ada tokoh-tokoh besar masa lalu menjadi tokoh karena semata-mata dipilih dalam Pemilu. Mereka berjuang dengan suka dan duka. Bahkan kadang-kadang dengan airmata dan pengorbanan jiwa.
Sebutlah Dr. H. Abdul Karim Amarrullah, Dr. Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Al-Rasuli, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Inyiak H. Agus Salim, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Yamin, Buya HAMKA, Pak Natsir, Chatib Sulaiman, Bagindo Aziz Chan, Rohana Kudus, Encik Ramah Elyunusiah, Rasuna Said dan seterusnya.
Ketokohan mereka bukan saja setelah mereka menjadi ulama dan pejuang Islam, menlu, wakil presiden, menteri pengajaran, ulama dan pujangga serta perdana menteri, ideolog, pejuang dan pendidik. Mereka menjadi tokoh sejak dari muda, terus beringsut ke masa dewasa, tua bahkan setelah wafat pun mereka masih mendapat legitimasi sebagai seorang tokoh. Mereka menjadi bjah hati dan bjuah tutur publik.
Legitimasi ketokohan, mereka sandang bukan instan tetapi dalam proses yang panjang, alami dan bertahap sehingga sampai ke puncaknya. Dewasa ini terjadi pergeseran.
Kebanyakan tokoh kita, lahir dari karbitan. Di antaranya adalah hasil modifikasi demokrasi setelah era reformasi. Mereka yang tadinya tidak “apa-apa” dan tidak “siapasiapa”, tiba-tiba saja menjadi tokoh “popular” karena daur politik.
Ada sedikit modal, ikut partai dan kalau nasib baik terpilih menjadi anggota legislatif. Atau ada sedikit isi pundi dan modal sosial, ikut pemilihan kepala daerah. Maka jadilah ia pimpinan eksekutif. Nanti, bila selesai pengabdiannya di legislatif dan eksekutif itu, maka ia kembali menjadi orang biasa. Tidak ada buku yang ditulis, tidak ada kenangan hidup yang melekat di hati masyarakat dan tidak ada bekas ketokohan yang dikenang.
Masih syukur dan ini boleh sedikit pengecualian. Di antara mereka yang duduk menjadi tokoh sebagai hasil karbitan tadi mencoba menempa diri. Mereka yang tadi tidak pandai berpidato, karena sudah sering tampil, maka karena “belajar” sambil “bekerja” , sekarang sudah hebat. Berpidato sudah tidak lagi terikat kepada naskah atau teks yang ditulis oleh orang lain. Mereka yang pendidikannya “apa adanya”, maka dengan segala perjuangan yang keras dan liku-liku kehidupan serta disela kesibukan, mereka sekolah atau kuliah eksekutif sore dan malam, akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan starata tertentu.
Mereka yang temasuk kategori ini, adalah tokoh yang perlu diberi apresiasi dan menerima rasa hormat. Apalagi mereka mengembangkan sayap pemikiran, koneksi dan jaringan serta selalu memperkuat tali sitaturrahim secara vertikal, ke tingkat national, dan global serta secara horizontal ke masyarakat dan ummat di wilayah ini.
Kiprah mereka menjalin komunikasi dan dengan itu semakin memperkuat ketokohannya, bolehlah dianggap sebagai fenomena modern ketokohan di masyarajat yang tengah berubah ini. Mereka adaptif dengan perubahan yang positif. Mereka adalah harapan yang telah mengubah angan-angan menjadi realitas bahwa kita tetap mempunyai tokoh yang “ mumpuni’ dan boleh jadi tokoh ini suatu waktu menjadi tokoh kharismatis dan rasional.
Kalaulah tidak melampaui, paling tidak mereka mampu mengiringi tokoh besar kita di masa lalu. Berdasarkan sketsa di atas tadi, pertanyaan yang muncul tentu, bagaimana dengan tokoh kita yang satu ini, H. Basril Djabar (HBD) atau kebanyakan kita memanggilnya Uda Bas.
Sebelum menjawab pertanyaan ini, penulis ingin menggambarkan terlebih dulu pengalaman bersama Uda Bas. Penulis mengenal tokoh kita ini sekitar tahun 1970-an. Waktu itu karena Mingguan Singgalang menjadi Harian Singgalang telah mendongkrak namanya di tengah masyarakat. Begitu pula lantaran kiprahnya di dunia usaha dan bisnis, menambah semarak wibawa dan kharismanya di dunia yang satu ini.
Oleh karena ingin mengembangkan kekuatan intelektualitas dan kecendekiawanan diri, lebih-lebih karena alasan kehidupan dan ekonomi, Penulis mulai mengirimkan pikiran dalam tulisan ke Koran ini.
Sejak itu Penulis mulai sering bertemu, bercakap-cakap dan merasa dekat dengan keluarga besar Singgalang . Mereka di antaranya adalah Chairul Harun, Muchlis Sulin, M. Jusfik Helmi, AA Navis, Hamid Djabar, Wisran Hadi, Abrar Yusra dan seterusnya generasi sesudah Inyiak Nasrul Sidik, Nazif Basyir dan Salius St. Sati. Begitu pula generasi belakangan seperti Adi Bermasa, Darlis Syofyan, Fachrul Rasyid HF, Indra Nara Persada, Hasril Chanigo, Khairul Jasmi dan seterusnya.
Apa lagi di tahun 1980-an penulis diberi kolom dua kali dalam sepekan di halaman satu, Selasa dan Jum’at di bawah tajuk “Bukan Sekedar Perintang Waktu” dan bila Ramadhan datang, menulis pada kolom” Menunggu Beduk Berbuka”.
Waktu itu penulis diangkat sebagai Editor Tamu pada harian ini. Honor tulisan dari Singgalang telah berjasa membayar biaya kelahiran putri Penulis dari sebuah rumah bidan di sebuah jalan di kota ini pada tahun 1983.
Di ujung 80-an dan awal 90-an, kaena melanjutkan kuliah di Pascasarajana IAIN (sekarang UIN) Jakarta, Penulis bahkan menjadi koresponden tetap Singgalang di Jakarta. Karena itu hampir tiap minggu bertemu dengan Uda Bas di Kantor Singgalang di Jakarta bersama Kepala Perwakilan Singgalang Suparto HR.
Di samping merasa dekat dengan Uda Bas, penulis menjadi lebih dekat lagi di tahun 1980-an dan 1990-an itu dengan adiknya H. Bahrum Yonda Djabar. Dengan yang terakhir ini penulis sama-sama pengurus KNPI Sumbar, AMPI bahkan belakangan GOLKAR.
Pada waktu di KNPI, bahkan Penulis dan Uda Yonda dikirim menjadi utusan Pemuda Indonesia ke Sidang Umum PBB pada Youth Assembly di New York, AS tahun 1988. Sebelum sidang dan sesudahnya kami berdua mengunjungi beberapa negara di Asia dan negera bagian di AS seperti Hawai dan California. Sesudah itu kami dari New York tebang ke Amsterdam dan mengunjungi negara Benelux (Belgia, Netherland dan Luxemburg). Belakangan penulis dan Da Yonda, duduk di DPRD Provinsi Sumbar hasil Pemilu 1992 sampai 1997.
Penulis semakin merasa dekat dengan Uda Bas sejak kami sama-sama menjadi Dewan Komisaris PT Semen Padang, sejak Oktober 2005 bersama Letjen (Purn.) H. Muzani Syukur, Prof. Dr. H. Elwi Danil, SH., MH dan Dr. Ir. Imam Hidayat.
Pada ulang tahun Uda Bas 21 April 2008, Penulis merasa tersanjung atas suatu pristiwa yang mengharukan tetapi menggembirakan. Waktu itu Uda Bas rela tidak berada di samping semua sanak keluarga dan anak-anaknya, tetapi bersedia datang ke acara promosi Doktor Penulis di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selesai promosi kami mensyukurinya sekaligus merayakan ulang tahun Uda Bas yang ke 65 di Wisma Syahida UIN tadi bersama sekitar 200 orang undangan dari Sumbar, Jakarta dan Yogyakarta. Sesuatu yang tak ada bandingannya bagi Penulis. Merayakan ulang tahun Uda Bas sekaligus selesainya pendidikan S.3/Doktor penulis yang cukup lama sekitar 16 tahun. Itu pun setelah berkali-kali diberi peringatan keras oleh Direktur Pascasarjana UIN SH Jakarta Prof. Dr. Azyumardi Azara, M.Phil., M.A., C.B.E.
Kembali ke soal ketokohan dan kemimpinan terdahulu, menurut pengamatan penulis maupun berdasarkan pergaulan langsung, Uda Bas masih bertahan dengan pola lama kepemimpinan masyarakat.
Secara alamiah dimulainya kepemimpinan itu di bisnis, kemudian menjalar dan simultan dengan dunia media. Secara bersamaan juga sebagai pemimpin masyarakat yang aktif di sekitar 30 organiasi profesi, yayasan, organisi social, dan kemasyarakatan di tingkat lokal dan nasional.
Akan banyak pertanyaan, mengapa Uda Bas tidak mengembangkan ketokohannya ke spektrum politik. Padahal fenomena mutakhir setelah era reformasi 1998 sampai sekarang, terjun ke dunia politik adalah menggiurkan dan amat prospektif untuk kehidupan dan mengembangkan ketokohan serta kepemimpinan.
Seingat penulis, Uda Bas sudah pernah menjadi penasihat Golongan Karya di Kota Padang di masa lalu. Sekarang di tengah puluhan organisasi social kemasyaratakan dan professional tadi Uda Bas juga pernah Ketua Dewan Penasihat Partai GOLKAR Provinsi Sumatera Barat. Sekarang Uda Bas menjadi penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar 2015-2022.
Setahu Penulis, Uda Bas tidak pernah menjadi anggota dan pengurus partai sejak muda sampai sekarang selain GOLKAR. Artinya, Uda Bas tidak pernah tergiur untuk pindah-pindah atau loncat-loncat partai. Alasannya, cukup transparan.
Agaknya di antara alasan itu, Uda Bas menajadi aktivis, penasihat dan pembina partai bukanlah lantaran haus kekuasaan atau ingin memenangkan sebuah kursi politik. Pada pemahaman penulis, Uda Bas masuk partai itu seakan sama saja baginya dengan masuk ke organisasi social, masyarakat dan professional yang dia geluti yang lain tadi sejak masa mudanya sampai hari ini.
Akan tetapi sebuah budaya pluralitas politik telah dipupuk Uda Bas dalam keluarganya. Semenjak wafatnya ayahanda H. Marah Djabar dan Ibu Hj. Hafsah, Uda Bas adalah patron utama, sekaligus mungkin “role model” dalam keluarga ini.
Maka adalah atas restu Uda Bas agaknya di dalam keluarga ini ada sejumlah politisi yang berhasil lolos ke kursi politik dari berbagai partai politik. Adiknya H. Bahrum Yonda Djabar, S. IP duduk di kursi DPRD Sumbar (1992-1997 dan 2004-2009) melalui Partai GOLKAR.
Adiknya yang lain H. Dasrul Djabar duduk di kursi DPR RI dari Partai Demokrat—konon sangat dekat dengan Presiden SBY waktu itu. Dan menantunya H. Fetris Oktri Hardi, SE, SH., M. Si, duduk di kursi DPRD Provinsi Sumbar dari Partai Persatuan Pembangunan.
Sebuah “orchestra politik” yang harmonis agaknya hidup subur dalam keluarga ini. Walaupun demikian untuk dirinya sendiri, Uda Bas kelihatannya tidak tertarik untuk ikut merebut kursi politik melalui Pemilu. Maka kalaupun Uda Bas menjadi Ketua Dewan Penasihat Partai GOLKAR Sumbar, agaknya itu baginya hanya suatu keikhlasan dalam mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk ummat dan bangsa dalam arti yang lebih luas.
Dalam arti yang lebih sempit adalah untuk komunitasnya di ranah dan rantau Minang . Dengan kata lain, Uda Bas, terbebas dari rayuan politik untuk kekuasaan. ***(shofwan.karim@gmail.com)