Platform Partai Versus Tansaksional Politik
Platform Partai Versus Politik Transaksional
Oleh Shofwan Karim
Platform partai sekaligus platform politik adalah serangkaian prinsip atau kebijakan yang didukung oleh partai politik, golongan tertentu, praktisi politik kelompok atau perorangan. Inilah yang menjadi basis, akar tunggang landasan utama perjuangan pendukung suatu partai.
Narasi platform ini digunakan untuk menarik kalbu dan hati sanubari warga partai dan masyarakat dalam pemilihan umum. Hal itu menjadi banner (pajangan-merek) dan konten (isi) diungkapkannya dukungan bagi suatu partai. Bisa sekaligus menjadi argument, hujjah atau alasan terdalam dalam pembelaan sebaliknya penentangan terhadap suatu partai. Selain itu, juga bisa digunakan untuk melihat kesamaan atau perbedaan prinsip dan kebijakan yang bisa dipertimbangkan saat membentuk koalisi.
Beberapa platform politik yang biasa digunakan partai politik sebagai ruh utama dari, diantaranya: isu agama, berpihak kepada ketinggian moral dan akhlak, nasionalisme, ultra nasionalis, kapitalisme, liberalisme, ekonomi kerakyatan , pembelaan terhadap rakyat kecil, upaya menggapai kesejahteraan dan memerangi kemiskinan, penegakan hukum, anti korupsi, berpihak kepada buruh, dll. Intinya uraian pokok penjabaran ideologi yang dianut oleh partai itu tertuang di dalam platform partai politik.
Politik Ring Demokrasi
Implimentasinya, politik, sepertinya menjadi “ring tinju” demokrasi. Arena berkuhampas para jawara dan jumawa. Pada awalnya adalah niat baik. Bersama kita bisa. Bisa memikir, merencanakan dan melaksanakan membangun bangsa. Segalanya di awali peristiwa politik. Politik merupakan mantra awal dalam konsep negara demokrasi. Kekuasaan di tangan rakyat. Untuk itu perlu diatur bagaimana tangan rakyat berkuasa .
Aturan itu dimulai dengan konstitusi, undang-undang, peraturan dan ketentuan hukum. Maka sesuai undang-undang dilaksanakan pemilihan umum untuk legislatif dan eksekutif (dalam hal ini Presiden, Gubernur, Bupati, Wako bahkan Walinagari atau Kepala Desa). Sebagai prasyaratnya diwujudkan infra struktur yang disebut Partai Politik. Infra struktur itulah yang pada saatnya membentuk supra struktur yang disebut pemerintahan untuk menyelenggarakan kekuasaaan tadi atas nama rakyat. Caranya dengan sistem demokrasi melalui pemilihan umum (Pemilu) tadi.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu lembaga bebas yang disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada setiap tingkatan pembagian administrasi pemerintahan. Dibentuk melalui suatu proses transparan, uji layak dan kompetensi oleh satu tim seleksi independen dan kemudian diangkat oleh Pemerintah. Untuk tingkat pusat, bahkan akkhirini tingkat daerah dengan terlebih dulu dilakukan uji layak DPR RI-DPRD.
Mekanisme Kepemimpinan 5 Tahun
KPU membuat program dalam satu siklus nasional 5 tahunan. Dulu disebut mekanisme kepemimpinan nasional sekali 5 tahun sesuai masanya. Berlanjutlah kehidupan politik praktis. Maka perlombaan pun semakin intensif dan ekstensif. Semuanya berikhtiar dengan berbagai cara merebut peluang untuk duduk di kursi legislatif (DPR ) sebagai badan perwakilan rakyat pusat, provinsi, kota dan kabupaten,plus (Dewan Perwakilan Daerah/DPD) untuk tingkat nasional-pusat. Untuk legislatife, tidak ada peluang tokoh non-partai.
Untuk eksekutif khusus Kota dan Kabupten sesuai undang-undang terbuka pula selain dari partai juga independen atau perorangan dengan syarat dukungan dengan bukti kopian KTP 10 persen dari jumlah pemilih setempat. Itu yang untuk Sumatera Barat terjadi ketika Ramlan Nurmatias Petahana 2026-2021 kembali maju periode berikut dengan pasangannya Syahrizal Datuak Palang Gagah menjadi calon Wako-Wawako Bukittinggi dari jalur perorangan (independent) yang memenuhi syarat dukungan dan disyahkan KPU setempat pada waktu itu.
Maka secara kasat mata, institusi yang dominan di sini adalah partai politik. Pada dasarnya pada setiap Parpol untuk mewujudkan tujan, cita-cita, misi dan misinya tercermin di dalam Platform Partai. Oleh karena itu calon yang diajukannya untuk posisi eksekutif dan legislatif seyogya yang sangat paham menjalankan platform partai dan melaksanakannya kalau sukses. Dari situlah dibuat program strategis, progam kerja dan program aksi.
Pada setiap Platform Partai dapat dilihat hendak dibawa kemana rakyat, bangsa, daerah dan negara ini, apabila partai bersangkutan menang dalam Pemilu dan menjadi penguasa yang syah produk sistem demokrasi yang dianut. Oleh karena itu, akan kelihatan pada setiap platform nilai-nilai normatif-ideal-fundamental dan nilai-nilai praksis-aktual yang dianut partai serta hendak diarahkan sesuai dengan paltfrom partai dalam setiap bidang pembangunan.
Pedoman Ideal
Maka secara ideal, apabila setiap warga akan menjadi anggota, pengikut serta memilih partai, baik sebelum atau sewaktu Pemilu, seyogyanya melihat Platform Partai.
Sayang, di dalam aktualisasinya, dewasa ini sebagian besar warga masyarakat memilih partai bukan berdasarkan Platform, tetapi berdasarkan tiga hal, yaitu identitasi, pencitraan dan transaksional. Dalam hal ini bahkan tidak dilirik, apapun partai dan platform-nya karena fokusnya kepada tokoh. Jadi secara kasat-rasio, partai hanya pencalon dan pengusung. Kecuali ada partai yang benar-benar bekerja sepenuh jiwa dan sekuat tenaga (all-out).
Bila ditilik kembali kepada pola karakter pemilih tetap saja ada rakyat yang pro-identitas. Lebih positif kalau identitas itu ada di dalam Platform seperti ideologi yang dianut partai. Selain Pancasila yang setiap partai menganutnya adalah juga keagamaan, nisionalisme, marhenisme, kekaryaan dan pluralism. Tetapi memilih identitas berdasarkan primordialisme, kesukuan, etnisitas, golongan sosial elit dan awam atau mayoritas-minoritas, terasa kurang kondusif dan bahkan cendrung dianggap pihak tertentu sebagai negatif.
Begitu pula yang memilih berdasarkan pencitraan. Gebyar iklanisasi orang dan program dapat bermakna positif dan negatif. Bermakna positif tentu saja bagi tokoh atau partai yang diiklankan. Keduanya dapat menuai populeritas (sangat dikenal oleh para pemilih) sekaligus elektabilitas (keterpilhannya). Tetapi tak jarang ada gap antara populeritas dan keterpilihan.
Keduanyanya dapat beriringan atau berbarengan tetapi mungkin pula terjadi paradoksal. Yaitu meski populer tetapi orang tak berselera memilihnya. Bila yang diiklankan itu tokoh bermasalah atau moral dan akhlaknya kurang baik. Maka betapapun iklan dan sanjungan media, tidak akan postif. Begitu pula terhadap program yang dijejalkan via iklan dalam media, tetapi tidak menyentuh kepentingan rakyat banyak, maka iklan itu menjadi kontra produktif.
Apalagi iklan yang terus-menerus tanpa jedda (tenggang waktu), akan menimbulkan kebosanan bagi yang idealis. Ada adagium, “bunga yang indah, bila disiram dengan air dan pupuk yang berlebihan, akan layu”. Sebaliknya bagi yang pragmatik, awam, berlakulah adagium, “katakan seribu kali tentang sesuatu walau itu kebohongan dan pada kali ke seribu satu, sesuatu itu akan dianggap kebenaran”. Pada karakter lain adanya kenyataan yang lebih buruk, yaitu politik transaksional. Ini lebih kepada pendekatan siapa dan dapat apa. Sesuatu yang bertentangan dengan platform partai seperti yang diutarakan awal tulisan ini.
Politik transaksional
Politik transaksional adalah politik balas jasa. Ada yang bersifat material seperti jual beli suara. Dengan lembaran uang cetakan indah warna angka tinggi, terjadi “serangan fajar”. Yaitu memberikan imbalan materi, segepok (sejumlah) atau selembar uang kepada calon pemilih sebelum atau beberapa waktu menjelang masuk kotak suara. Transaksi material dampaknya buruk kepada pemberi dan penerima. Merusak akhlaknya sendiri dan buruk kepada masyarakat karena yang terpilih adalah orang berduit tetapi tidak cakap dan kualifaid memimpin atau menjadi tokoh yang duduk di kursi perwakilan..
Atau transaksi non-material, misalnya jabatan tertentu disediakan untuk Tim Sukses atau kolega yang memenangkan Pemilihan tersebut. Bila yang terpilih kualifaid dan mengangkat pejabat untuk jabatan tertentu sesuai keahliannya, bolehlah memberi kelegaan sebagai balasa jasa. Akan tetapi sebaliknya, miskin kapasitas, kapabilitas dan profesionalitas dan tidak pula menurut jenjang karir apalagi keahlian yang tidak sesuai, maka dampaknya sangat buruk.
Banyak terjadi tokoh tertentu yang tidak cocok mengurus bidangnya, tiba-tiba menduduki jabatan tertentu karena politik transaksional tadi. Maka niscaya akan berlaku hadist Rasulullah, “bila diserahkan jabatan kepada tokoh yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Pada fenomena ini, politik transaksional menjadi titik api. puncak keburukan politik setelah politik identitas dan politik pencitraan tadi. Na’u zubillahi min zalik. ***
(Shofwan Karim adalah pengamat keagamaan, perpolitikan, sosial dan Dosen Pascasarajana UM Sumbar)