Ormas Islam dalam Pusaran Pilpres 2024
Ormas Islam dalam Pusaran Pilpres 2024
Oleh Shofwan Karim
Ada cuplikan testimoni Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul.“Ipul menyinggung bahwa NU tidak bisa hanya menjadi seperti "event organizer” (EO), memberikan panggung kepada orang lain lalu mereka hanya menjadi penonton.” (Kompas.Com 19/1/2024)
Ia membenarkan kabar bahwa mereka bertemu dengan ketua pengurus wilayah dan cabang, baik Syuriyah maupun Tanfiziah, se-Jawa Timur pada 7 Januari lalu.
Mereka memberikan arahan terkait Pilpres 2024, namun tak secara eksplisit mengarahkan dukungan kepada pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu.
Mendahului itu, Muhammadiyah mengundang ke-3 pasang Capres-Cawapres memaparkan visi, misi dan program dalam dialog uji publik terbuka di UMS Solo (22/11/23), UMJ Jakarta (23/11/2023) dan UM Surabaya (24/11/2023).
Ketiganya dihadiri tatap-wajah ribuan internal Muhammadiyah dan disiarkan terbuka untuk publik secara live-streaming.
Apakah Muhammadiyah dan NU yang dianggap Ormas terbesar bukan hanya di Indonesia tetapi, bahkan di dunia, tidak akan menjadi penonton? Setelah memberikan panggung kepada pasangan Capres-cawapres?
Jawaban yang alit dan sumir mungkin ada tetapi kaidah pasti, mungkin jauh panggang dari api. Mengapa?
Memberi panggung dan menjadi penonton dalam politik, bukanlah hal yang bertolak belakang. Idealnya tentu memberi panggung sekaligus menjadi aktor. Atau paling tidak menjadi produser sekaligus sutradara yang mengatur aktor dan piguran di panggung itu.Tetapi itu-kan berat, perlu infra dan supra struktur, kos serta enerji supra-tinggi. Apalagi bukan Parpol pengusung dan pendukung. Dan Ormas bukanlah pada posisi itu.
Bagaimana mau mengatur aktor politik kalau semua bilang, kami netral secara persyarikatan dan jam’iah. Akan tetapi warga boleh gunakan keberpihakannya sebagai hak asasi politik perorangan dalam kancah demokrasi
Kedua Ormas itu membuat aturan sendiri seperti pemerintah membuat aturan dirinya tak boleh berpihak. Akan tetapi siapa nyana, mereka tetap main hati bahkan main mata ke pihak-pihak.
Ada kontradiksi sejarah. Pada masa-masa perjuangan nasional dan kala merebut kemerdekaan para tokoh pendiri bangsa tak ragu menyebut dirinya tokoh dari kedua persyarikatan dan jam’iah tadi.
Sampai Pemilu 1955 hal itu masih berlangsung. Akan tetapi pada dekade-dekade Orla, Orba dan Reformasi, persyarikatan Muhammadiyah dan jam’iah NU dengan alasan beragam rupa, membiarkan politik di luar amal maslahah mereka.
Tentu saja Undang-udang Partai dan Ormas berbeda di dalam menjalankan struktur, fungsi dan peranan dalam gerakan kehidupan politik nasional. Namun tak ada larangan di dalam Undang-undang bila saat Pemilu dan Pilpres mereka berpihak.
Mereka tidak berani berpihak karena warga dan pemimpin mereka tak satu pilihan. Maka datanglah klaim (bahkkan –katanya hasil survey) warga Muhammadiyah mayoritas sekian puluh persen untuk Capres-cawapres ini. Lalu warga NU dalam Pileg persentasenya besar ke partai sana dan untuk Capres-cawapres untuk pasangan itu.
Keadaan ini sebenarnya seperti malu-malu kucing. Ntoh pada level wilyah serta daerah tertentu, sudah terkapling ke arus-arus tertentu. Meski dengan berbusa-busa dan berapi-api beberapa elit persyarikatan dan jam’iah menyatakan netralitas, akan tetapi tanpa disadari atau dengan kesadaran penuh, terbaca telah berada di pihak tertentu.
Bahasa majas, kiyasiah, kinayah dapat ditafsirkan secara gamblang. Bahkan bagi yang faham, ternyata mereka sudah tidak netral.
Tentu saja hal ini tak berlaku kepada tokoh tertentu. Misalnya Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa. Gubernur Jatim ini tak sungkan menyebut dirinya pendukung Prabowo-Gibran dan dinyalir menjadi TKN di situ.
Bahwa ada himbauan nanti harus menyatakan diri non-aktif dalam kemimpinan Muslimat khususnya dan NU in-toto, sepertinya hal itu tak menjadi pikiran dan halangan bagi tokoh satu ini.
Boleh jadi Khofifah sedang menanam benih untuk 2029 nanti. Kalau tidak menjadi Capres minimal Cawapres pada periode berikutnya.
Bisa jadi perkiraan ini yang menjadi pemahaman awam yang dimaksud Gus Ipul. “Jangan menjadi “EO” memberikan panggung kepada orang lain lalu mereka hanya menjadi penonton. Mafhum “mukhalafah”-nya hendaklah sekaligus menjadi pemain atau aktor.
Seperti yang terjadi pada 2019, Ma’ruf Amin salah satu tokoh sentral NU masa itu menjadi Cawapres dan sukses. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.***
Shofwan Karim, Dosen PPs UM Sumbar dan Ketua Umum YPKM.
Artikel ini sudah tayang 22/01/2024 di:
Ormas Islam dalam Pusaran Pilpres 2024 - Portal Berita Singgalang (hariansinggalang.co.id)
##Shofwn Karim #Politik #Ormas #Muhammadiyah #Nahdhatul Ulama ##Pilpres 2024 ##Pemilu 2024