Demokrasi dengan Cinta, Kerja dan Harmoni
Komentar Singgalang:
DEMOKRASI DENGAN CINTA, KERJA DAN HARMONI
OLEH SHOFWAN KARIM
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo marah-marah di jembatan timbangan karena ada yang lempar uang (Pungli) ke meja di ruang kantor jembatan timbangan itu. Kejadian ini dua pekan lalu (27/4/14). Itu dianggap korupsi dan perbuatan mencemarkan birokrasi.
Walikota Surabaya Risma, marah-marah karena taman rusak akibat penyelenggaraan pembagian es krim gratis oleh Walls (PT.Unilever) ramai orang hadir merusak keindahan kota. Peristiwa itu terjadi 2 hari lalu.
MAHEM, menang di MK pada 7 April 2014, setelah mengantongi lebih kurang 1600 suara lebih tinggi dari DEJE. Di kota Padang pada Pilek Wako kemarin, ada 1632 TPS.
Bila satu saja per TPS menambah angka memilih DEJE, maka sejarah pelantikan Wako hari ini, Selasa, 13 Mei 2014, tentu berubah. Yang memakai jas lengkap putih dan berdiri di upara di Gedung Dewan Sawahan itu akan berbeda.
Dua contoh kasus pertama di atas, apakah maknanya di dalam demokrasi ?. Akankah ini kita sebut sebagai beban demokrasi ? Dan contoh ke-3, dapat kah kita sebut sebagai hikmah dan keindahan demokrasi?
Bagi Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini, keterpilihannya sebagai Gubernur dan Walikota, bukan saja sebagai amanah plat-form dari Partai pengusungnya PDIP, tetapi juga misi suci pribadi mereka untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara.
Pada satu sudut pandang, inilah misi yang bermakna tinggi dan tentu saja amat mulia. Akan tetapi tanyalah hati nuriani keduanya, bukankah ini juga menjadi beban bagi diri mereka ? Di katakan beban, karena menghadapai rakyatnya tidak mudah.
Lebih-lebih lagi beban merealisasikan visi, misi dan program-program yang telah di sampaikan keduanya pada kampanye sebelum terpilih.
Terhadap MAHEM, yang dilantik setelah beberapa kali ditunda, insya Allah dan alhamdulillah, hari ini resmi menjadi Wali dan Wakil Wali Kota Padang 2014- 2019. Betapa indahnya kemenangan yang telah diperoleh dengan susah supaya.
Ibarat pertandingan bola liga. MAHEM menang dengan perjuangan alot, melalui 2 putaran. Putaran pertama 10 pasang calon. Dan putaran kedua, 2 pasang. Dan
MAHEJ menang tipis, melalui adu pinlati setelah perpanjangan waktu 2 kali 15 menit alias ke MK.
Akhirnya MAHEM menang lebih kurang pada 4 TPS (lebih kurang 1600 suara). Atau mayoritas MAHEM di 4 Kecamatan dengan jumlah pemilih yang lebih besar. Sementara DEJE menang di 7 Kecamatan tetapi jumlah pemilih lebih minimal (kurang 1600).
Itulah demokrasi. Di satu sisi kelihatan indah, adil, dan proporsional serta sesuai dengan nilai-nilai kehidupan kewargaan, Negara dan pemerintahan yang modern. Sebagian besar dari 220 negara modern di dunia, memilih system demokrasi di dalam system pemerintahan dan suksesi pemerintahannya.
Keindahan dan kemesraan itu janganlah cepat berlalu. Terutama bagi MAHEM dan masyarakat warga kota Padang. Mari lakukan ishlah (rekonsiliasi). “Biduak lalu kiambang batauik”.
Semua kita tahu, bahwa partai pengusung MAHEM adalah PKS dan PPP. Akan tetapi kita juga tahu, system demokrasi yang kita pilih untuk Pilkada menghendaki ada calon dari partai dan atau calon independen.
Secara factual, meskipun DEJE pada mulanya adalah calon independen, tetapi belakangan didorong pula oleh partai-partai PDIP dan Hanura, dan pada putaran ke-2 didukung oleh GOLKAR, PKPI, PAN, dan Demokrat
Semua plat-form partai menyatakan tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Maka setelah menjadi Wali dan Wakil Walikota, MAHEM adalah milik semua warga kota Padang. Tanpa membedakan latar belakang partai apa, dan memilih siapa pada Pilkada lalu.
Tinggal lagi, dan ini mungkin menjadi kegembiraan bukan beban bagi MAHEM untuk mewujudkan 10 janji pada Pilkada lalu.
Ke depan marilah atas komando MAHEM kita memikirkan dan berbuat bagaimana Padang yang lebih sejahtera dalam demokrasi dengan cinta, kerja dan harmoni. ***